Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

2009/03/31

Farmasi

Perkembangan Pelayanan dalam Dunia Farmasi
Paling tidak dunia farmasi telah mengalami empat periode perkembangan. Perkembangan tersebut merupakan suatu proses yang terus menerus berjalan seiring dengan perkembangan dunia kesehatan. Periode tradisional, merupakan periode awal perkembangan dunia farmasi, kemudian periode transisional, periode penerapan farmasi klinis dan yang terakhir dan saat ini diterapkan adalah periode penerapan asuhan kefarmasian.
Farmasi adalah salah satu bidang ilmu dalam dunia kesehatan. Sehingga farmasi tidak dapat dipisahkan untuk mendapatkan tujuan terapi yang diinginkan saat melakukan pengobatan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, maka terjadi peningkatan jumlah konsumsi obat. Selain itu masyarakat juga semakin kuat keinginannya untuk mengetahui informasi obat yang sedang dikonsumsinya.
Periode tradisional merupakan periode dimana waktu itu seorang farmasis (apoteker) bekerja hanya untuk menyediakan, membuat, mendistribusikan serta mengevaluasi produk sediaan farmasi. Pada periode ini seorang apoteker bekerja terus di apotek, karena dia harus meracik obat yang diresepkan oleh dokter. Pada periode ini sediaan farmasi masih banyak yang harus diracik di apotek, karena belum banyak sediaan jadi yang diproduksi oleh pabrik.
Periode transisional merupakan periode dimana telah terjadi perkembangan yang pesat dalam dunia industri obat. Obat-obat jadi yang sudah siap pakai banyak beredar di pasaran. Harga obat pun menjadi mahal, dan informasi tentang obat pun menjadi sangat banyak, karena masing-masing industri obat memproduksi obat dengan rahasia formulasinya masing-masing. Kareana banyaknya obat yang beredar, tidak jarang terjadi peresepan yang boros dan penggunaan polifarmasi.
Ada hal yang perlu diperhatikan pada periode ini, seorang apoteker menjadi kehilangan pekerjaan tradisionalnya, yaitu meracik obat di apotek. Pasien cukup hanya dilayani oleh seorang asisten apoteker yang menyerahkan obat kepada pasien. Apoteker pun menjadi tidak betah tinggal di apotek, sehingga apoteker sangat jarang bertemu dengan pasien. Masyarakat pun mulai bertanya mengenai profesi apoteker, bahkan apoteker sendiri bertanya apakah dia masih dibutuhkan sebagai seorang apoteker.
Dari dua periode di atas kita melihat bahwa pelayanan farmasi tersebut masih terbatas pada pelayanan pada sediaan farmasi, hanya berorientasi pada produk. Pada periode tradisional kita melihat peran apoteker masih sangat dibutuhkan karena hanya apotekerlah yang mengetahui masalah meracik obat. Sedangkan pada periode transisi kita lihat, bahwa tugas seorang apoteker mungkin hanya menentukan jenis, jumlah, dan memberikan harga obat yang dijualnya. Kalau hanya demikian mungkin seorang yang hanya tamat SMA saja dapat melakukannya.
Dengan demikian, sejalan dengan perkembangan dunia kesehatan maka pelayanan farmasi pun berubah. Saat ini pelayanan farmasi bukanlah hanya beorientasi pada produk saja. Maka hadirlah pelayanan farmasi klinis dan pelayanan asuhan kefarmasian yang lebih berorientasi kepada pasien.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka tugas seorang apoteker dalam melayani pasien harus dapat dipertanggungjawabkan. Konsumen harus mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan terapi dengan efek sampnig obat yang minimal.

Perkembangan selanjutnya yaitu pelayanan farmasi klinis. Pelayanan farmasi klinik yaitu salah satu paradigma baru pelayanan farmasi yang menerapkan konsep pelayanan asuhan/ kepedulian kefarmasian (Pharmaceutical care). Berdasarkan konsep ini pasien berhak mendapatkan manfaat pasti dan peningkatan mutu kesehatan dari terapi yang sedang dijalaninya. Pelayanan ini tidak lagi hanya berorientasi pada produk obat saja, tetapi mempertimbangkan pengobatan yang sesuai indikasi, efektif, aman dan jumlahnya terpenuhi.Konsep dari asuhan kefarmasian ini dapat diterapakan untuk pelayanan farmasi komunitas maupun pelayanan farmasi rumah sakit.
Pada pelayanan komunitas biasanya yang dilayani adalah pasien yang sedang mengalami rawat jalan maupun pasien yang melakukan swamedikasi. Disini pasien berhak untuk menanyakan mengenai informasi obat, mulai dari apa itu obat yang sedang digunakannya, bagaimana cara pemakaiannya, apa saja efek sampingnya, dan pasien juga boleh meminta pendapat kepada apoteker apakah ada obat yang harganya lebih murah dari obat yang sudah diresepkan, tetapi mempunyai khasiat yang sama. Selain itu pasien juga berhak untuk mendapatkan konseling dari apoteker jika pasien mempunyai waktu.
Sedangkan pada pelayanan farmasi rumah sakit seorang apoteker mempunyai kewajiban dalam pemberian informasi obat kepada profesional kesehatan yang bekerja di rumah sakit, melakukan wawancara sejarah obat pada pasien sekaligus melakukan konseling, melakukan seleksi sediaan obat, dan melakukan monitoring terapi pada obat-obat tertentu, selain itu apoteker juga berperan dalam pengendalian infeksi yang terjadi di rumah sakit.
Jadi, pelayanan farmasi klinis dengan konsep asuhan kefarmasian ini sebenarnya bertujuan untuk memberikan manfaat pasti, dan meningkatkan kualitas kesehatan dari pasien secara nyata. Manfaat pasti yang akan didapatkan pasien yaitu sembuh dari sakit, mengurangi atau menghilangkan gejala penyakit, menghentikan proses atau memperlambat proses sakit. Sedangkan kualitas kesehatan pasien berupa mobilitas (pergerakan) pasien lebih baik, mampu ikut serta dalam interaksi sosial, dan mampu memelihara diri sendiri.
Dengan demikian saat ini apoteker sudah berubah fungsi. Apoteker bukanlah seorang yang kerjanya hanya meracik obat di apotek, apoteker bukan hanya yang kerjanya di pabrik industri farmasi untuk membuat obat, tetapi fungsi apoteker saat ini adalah membuat obat menjadi bekerja lebih baik padi pasien.

Rujukan
Siregar, Charles J.P, Endang K.,2006, Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Wasito, Hendri, Diar H.E.,2008, Etika Farmasi dalam Islam, Edisi I, Graha Ilmu: Yogyakarta
Bahan Kuliah Farmasi komunitas

1 komentar:

Kunjungi Juga